GadgetSquad.ID – Beberapa waktu lalu kamu mungkin pernah melihat atau membaca berita, perihal para pedagang di pusat tekstil terbesar Tanah Abang yang “menjerit”, lantaran sepi pembeli.

Salah satu penyebab kondisi di atas, kabarnya lantaran maraknya transaksi belanja di social commerce, dimana proses jual beli barang dan layanan secara langsung melalui media sosial.

Karenanya jangan heran saat ini banyak pihak yang berdagang secara live di sosial media, salah satunya TikTok.

Besarnya keresahan UMKM terhadap fenomena social commerce, sampai-sampai Kementerian Perdagangan tengah merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, Dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Langkah ini dilakukan bertujuan untuk melindungi para pemilik Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang ditengarai mulai dirugikan karena praktik jualan online di ranah media sosial.

Apakah rencana pemerintah tersebut bisa menjadi solusi, sehingga UMKM tidak perlu lagi merasa resah?

Dalam diskusi bertajuk “Dampak Social Commerce Pada UMKM”, yang digelar Forum Wartawan Teknologi (Forwat), semua keresahan tersebut coba dicari solusinya.

Menurut praktisi pemasaran dan behavioral science, Ignatius Untung, yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) periode 2018-2020, platform jual beli bertransformasi dengan cepat.

Jika dulu ada platform Classified macam Kaskus FJB atau OLX, kemudian berubah menjadi marketplace yang membuat transaksi lebih aman ketimbang platform Classified.

“Setelah e-commerce kini muncul social commerce, yang memang belakangan makin masif digunakan oleh UMKM karena menjadi solusi yang tidak bisa dilakukan oleh e-commerce sekarang. Salah satunya adalah kedekatan personal.”

“Pasalnya, media sosial seperti Instagram dan Facebook itu dipenuhi dengan orang yang terkoneksi berdasarkan pertemanan. Sedangkan TikTok dan YouTube adalah format yang hook-nya adalah konten,” jelas Untung.

Lebih lanjut menurut Untung, pemerintah seharusnya bisa membuat aturan atau anjuran yang mendukung persaingan bisnis sehat di media sosial. Bukannya malah menambah membuat aturan baru untuk membuat sesuatu yang sudah berjalan terlihat seolah melanggar aturan.

“Alangkah baiknya pemerintah memperbaiki celah-celah yang lebih menguntungkan konsumen, ketimbang fokus pada membuat aturan yang membuat bisnis jadi lebih sulit berkembang, padahal tidak ada benefit tambahan yang didapat konsumen dan UMKM dari perubahan/aturan baru ini,” ujarnya.

Sementara itu, terkait rencana pemerintah, M. Tesar Sandikapura, Ketua Umum Indonesian Digital Empowerment Community (IDIEC), menjelaskan, seharusnya pemerintah mampu mengeluarkan peraturan yang akan berdampak kebaikan bagi industri e-commerce dengan dasar yang jelas dan kuat.

“Menghindari iklim yang tidak adil bagi pelaku industri dan merusak iklim usaha seperti adanya regulasi anti-kompetitif, keamanan data, regulasi payment, delivery serta regulasi standarisasi produk dan perlindungan konsumen.”

“Pemerintah perlu aktif mengadakan konsultasi terbuka dengan Perusahaan, kelompok industri serta konsumen yang akan terkena dampak dari peraturan baru mereka,” papar Tesar.

Pada kesempatan yang sama, Andre Oktavianus, pemilik UMKM jual beli baju anak Kiminori Kids mengatakan, jika sejatinya yang terdampak besar secara positif dari social commerce ini tak hanya UMKM, melainkan para reseller dan affiliate yang turut memasarkan produk UMKM.

“Affiliator ini seperti reseller, dan ini hanya ada di TikTok Shop. Rata-rata UMKM memiliki ratusan reseller atau affiliate. Mereka kebanyakan adalah single parent, tulang punggung keluarga. Modalnya juga tidak sulit, bahkan telepon genggam saja sudah cukup.”

“Mekanisme ini membantu untuk membuka peluang seluas-luasnya bagi siapapun yang sedang membutuhkan, apalagi di masa pasca pandemi ini banyak orang yang masih membutuhkan penghasilan,” tutur Andre.